Minggu, 11 November 2012

Berobat Kok Dengan Jarum, Minum Obat Dong !


Pernyataan diatas memang tidak benar-benar terjadi dalam kenyataan. Namun ada hal yang mendasari mengapa saya menulis artikel dengan judul seperti itu. Pertama, ini menurut saya, Akupunktur atau tusuk jarum bukan berasal dari budaya kita, oleh sebab itu, Akupunktur, meski bisa saya katakan cukup populer, ia masih kalah popouler dengan pengobatan medis. Jangankan dengan budaya bangsa lain, yang menjadi budaya kita sendiri ( seperti pijat dan jamu) saja orang kita segan untuk mengaksesnya, kalau tidak mau dibilang malu atau kuno/ketinggalan jaman.
Kedua, akupunktur masih menjadi solusi kesehatan alternatif, sudah jelas ia kalah kelas. Namanya saja alternatif, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata "alternatif"? mistis, kuno, tahayul, tidak ilmiah ? ada yang lain ?. Ini semakin diperparah dengan para penyembuh yang tidak tahu malu dan hanya memiliki motif memperkaya dirinya sendiri tanpa bertanggungjawab terhadap layanan terapi yang dilakukannya, membodohi masyarakat dengan biaya selangit dan merusak makna alternatif itu sendiri. Ketiga, meski secara perundangan praktek akupunktur diakui dan diatur oleh pemerintah ( dengan di terbitkannya Surat Ijin Pengobat Tradisional /SIPT, bagi praktisi akupuntur ), namun, pernahkah sidang pembaca menyaksikan iklan layanan masyarakat untuk mengajak masyarakatnya mengakses layanan kesehatan alternatif ? saya sendiri belum pernah menyaksikannya. Dan secara implisit, pemerintah hendak menggiring masyarakatnya untuk hanya mengakses layanan kesehatan yang modern, ilmiah dan di dukung dengan peralatan canggih, tentu dengan biaya yang tidak murah. Demikianlah edukasi pemerintah terhadap masyarakatnya.
Ini memang kenyataan yang harus diterima para praktisi akupunktur ( dan praktisi kesehatan alternatif lainnya ) sekaligus harus diterima juga oleh masyarakat. Bagi para praktisi kesehatan alternatif, mereka harus menerima dengan lapang dada menjadi warga kelas dua dalam bidang kesehatan meski memiliki ilmu selangit, reputasi mengkilap dan pendidikan setinggi apapun ( beneran lho, guru saya itu S 2 akupunktur, dari Beijing University, tapi ketika praktek di Indonesia, beliau harus legowo hanya bisa mengantongi predikat BATRA, pengobat tradisional ).  Sementara bagi masyarakat, mereka hampir-hampir dihadapkan pada satu-satunya pilihan ketika membutuhkan solusi terhadap masalah kesehatannya. Tak peduli daya beli sebagian besar masyarakat lebih rendah dari nilai jual layanan kesehatan yang ada. Tak bisa di pungkiri, edukasi pemerintah memang masih menjadi acuan utama masyarakat. Tak heran, pola pikir masyarakat pun, sebagaian besar cenderung memandang bahwa pengobatan hanya menjadi wilayah kerja dokter, rumah sakit dan sentra layanan sejenis itu. Pun tata cara penyembuhan menggunakan sarana obat dan operasi menjadi standar utama.
Maka pengobatan alternatif, akupunktur misalnya, tak pelak menjadi suatu metode aneh dalam dunia pengobatan. Itu karena Akupunktur, bisa jadi, dinilai keluar dari koridor standar pengobatan seperti apa yang dipahami masyarakat. Berobat kok dengan jarum, pakai obat dong ! mungkin demikian yang ada dalam benak ( sebagian besar ) masyarakat. Saya sendiri punya pengalaman beberapa kali menghadapi pasien seperti itu. “ ini ( pengobatannya ) sudah selesai Pak ? tidak ada obat yang bisa saya bawa pulang ya ? “ adalah bentuk pernyataan ketidaktahuan, namun bisa juga bentuk keheranan yang bisa jadi bukti atas tema artikel yang saya tulis kali ini.
Menutup artikel saya kali ini, menyeru kepada para praktisi alternatif dimanapun, tidak usah berkecil hati terhadap semua kenyataan minor yang ada. Teruslah mengasah kemampuan, menambah keilmuan dan meluruskan moral. Masyarakat semakin cerdas, kelak mereka akan menjadikan praktisi kesehatan yang kompeten dan bermoral untuk menjadi rujukan utama atas keluhan kesehatan yang mereka alami. Salam sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar