Apa yang bisa dirasakan langsung secara fisik, baik melalui tubuh
maupun anggota tubuh, memang lebih mudah meninggalkan trauma. Bahkan hanya
sekedar cerita, otak telah meresponnya lebih dari kenyataan yang terjadi. Begitu
juga terapi akupunktur dan sejenisnya, seperti bekam ( meskipun ada jenis bekam
yang menggunakan sayatan dangkal sebagai media pengeluaran darah ). Meski tidak
berasal dari data statistik hasil penelitian, saya yakin prosentase masyarakat
yang takut jarum lebih besar dari masyarakat yang toleran terhadap jarum.
Dari sakit sampai ngeri adalah alasan sebagian besar orang untuk menolak terapi menggunakan jarum.
Bahkan oleh mereka yang sama sekali belum pernah merasakan atau yang lebih parah, melihat sendiri bentuk dan ukuran jarum yang di gunakan. Yang ada dalam pikiran sebagian besar masyarakat, jarum yang digunakan untuk terapi tidaklah jauh berbeda, bahkan identik dengan yang di gunakan para dokter dan perawat.
Dari sakit sampai ngeri adalah alasan sebagian besar orang untuk menolak terapi menggunakan jarum.
Bahkan oleh mereka yang sama sekali belum pernah merasakan atau yang lebih parah, melihat sendiri bentuk dan ukuran jarum yang di gunakan. Yang ada dalam pikiran sebagian besar masyarakat, jarum yang digunakan untuk terapi tidaklah jauh berbeda, bahkan identik dengan yang di gunakan para dokter dan perawat.
Tidak dipungkiri
memang, penanaman ( atau brain wash )
“takut” jarum sudah terjadi, bahkan ketika masih kanak-kanak. “Kalau tidak mau
makan atau kalau nakal, nanti di suntik jarum lho !” adalah pola pembiasaan
yang umum ada dalam masyarakat. Maka tidak mengherankan jika setting pola pikir
semacam itu terbawa hingga dewasa. Padahal belum tentu yang di anggap
menakutkan secara fisik, membahayakan juga secara akibat. Sebaliknya belum
tentu pula apa yang di anggap baik, menyenangkan dan tidak menyakitkan, baik pula
secara akibat. Sebagai contoh jamu. Apa sih kesan pertama kali sebelum kita
konsumsi jamu ? Pahit, baunya tidak enak, adalah sebagian besar alasannya. Tapi,
apakah akibatnya seburuk anggapannya ? pengalaman empiris menunjukkan, jamu
telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat dalam rentang
yang cukup panjang dalam memelihara kesehatan masyarakat. Sebelum pada akhirnya
tergantikan oleh obat-obatan kimia. Nah untuk obat kimia itu sendiri, kita
perlu bersikap kritis. Obat kimia sejauh ini menjadi pilihan ( sebagian besar )
masyarakat karena di anggap baik. Selain rasanya yang bisa di kombinasi dengan
aneka rasa buah, atau bentuknya yang mudah
dikonsumsi sehingga meminimalisasikan rasa tidak enak ( pahit ), obat
kimia juga ( melalui iklan bertubi-tubi ) dianggap hasil dari uji klinis,
penelitian bertahun-tahun, di produksi dengan sangat higienis, di hasilkan oleh
orang-orang cerdas dan untuk itu di anggap aman untuk di konsumsi. Benarkah ? meminjam
pernyataan Dr Hiromi Shinya, pada buku yang di tulisnya,The Miracle of Enzyme,
bahwa obat pada dasarnya adalah asing bagi tubuh, obat juga berbahaya bagi tubuh dalam jangka
panjang dan masih menurut Hiromi, obat, pada tingkat yang paling mendasar, sebagian besar tidak
menyembuhkan penyakit. Mengutip pendapat pakar lain, Elmer Lee, M.D., Past
Vice President, Academy of Medicine, Beliau
berargumen “Praktek medis tidak memiliki filosofi atau akal sehat yang patut untuk
direkomendasikan. Ketika sakit, tubuh sudah penuh dengan racun. Dengan minum
obat-obatan kimia, tubuh makin penuh dengan racun, sehingga membuat kondisi
makin susah untuk disembuhkan.”.
Terapi menggunakan jarum ( Akupunktur ),
memang telah di anggap menakutkan, namun apakah akibatnya seburuk anggapannya ?
justru dibalik penusukan jarum tersimpan rahasia penyembuhannya. Secara
singkat, mekanisme kerja akupunktur di tinjau secara ilmiah modern adalah; pertama
penusukan jarum pada tubuh menjadi sebab di lepaskannya beberapa zat;
serotonin, histamine, bradykinin, slow reacting substance. Zat-zat tersebut
menyebabkan terjadinya dilatasi kapiler. Dilatasi kapiler inilah yang identik
dengan teori tradisional berkenaan manfaat akupunktur untuk melancarkan “
hambatan”. Kedua, dengan penusukan, menjadi sebab di lepaskannya Corticotrophin
Releasing Factor (CRF) serta lain-lain “releasing factors” oleh hipofise (adeno
hipofise ). CRF selanjutnya berturut-turut menyebabkan terbentuknya
Adenocorticotrophin hormone, corticotrophin, dan corticosteroid. Corticosteroid memiliki
efek anti peradangan serta menstabilkan permeabilitas sel. Di samping itu juga
menjaga keseimbangan fisiologik tubuh dalam keadaan sehat maupun stress.
Toh sebenarnya, penusukan dalam terapi akupunktur, pada dasarnya tidak sesakit seperti apa yang di bayangkan. Selain karena ada jenis jarum yang dengan jelas mencantumkan jaminan "Patient Friendly Needle" sehingga meminimalisasikan efek nyeri saat penusukan, keterampilan terapis dalam teknik penusukan membuat pasien merasa sangat nyaman selama proses terapi. Dan pengalaman klinik sejauh ini membuktikan pernyataan tersebut. So, masih berfikir dua kali untuk terapi akupunktur atau masih nyaman dengan menggunakan obat kimia ? Di tangan Anda semua keputusan ! Salam Sehat !
Toh sebenarnya, penusukan dalam terapi akupunktur, pada dasarnya tidak sesakit seperti apa yang di bayangkan. Selain karena ada jenis jarum yang dengan jelas mencantumkan jaminan "Patient Friendly Needle" sehingga meminimalisasikan efek nyeri saat penusukan, keterampilan terapis dalam teknik penusukan membuat pasien merasa sangat nyaman selama proses terapi. Dan pengalaman klinik sejauh ini membuktikan pernyataan tersebut. So, masih berfikir dua kali untuk terapi akupunktur atau masih nyaman dengan menggunakan obat kimia ? Di tangan Anda semua keputusan ! Salam Sehat !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar