Pernyataan diatas memang tidak benar-benar terjadi dalam kenyataan. Namun ada hal yang mendasari mengapa saya
menulis artikel dengan judul seperti itu. Pertama, ini menurut saya,
Akupunktur atau tusuk jarum bukan berasal dari budaya kita, oleh sebab itu,
Akupunktur, meski bisa saya katakan cukup populer, ia masih kalah popouler
dengan pengobatan medis. Jangankan dengan budaya bangsa lain, yang menjadi
budaya kita sendiri ( seperti pijat dan jamu) saja orang kita segan untuk
mengaksesnya, kalau tidak mau dibilang malu atau kuno/ketinggalan jaman.
Kedua, akupunktur masih menjadi solusi kesehatan alternatif, sudah jelas ia kalah kelas. Namanya saja alternatif, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata "alternatif"? mistis, kuno, tahayul, tidak ilmiah ? ada yang lain ?. Ini semakin diperparah dengan para penyembuh yang tidak tahu malu dan hanya memiliki motif memperkaya dirinya sendiri tanpa bertanggungjawab terhadap layanan terapi yang dilakukannya, membodohi masyarakat dengan biaya selangit dan merusak makna alternatif itu sendiri. Ketiga, meski secara perundangan praktek akupunktur diakui dan diatur oleh pemerintah ( dengan di terbitkannya Surat Ijin Pengobat Tradisional /SIPT, bagi praktisi akupuntur ), namun, pernahkah sidang pembaca menyaksikan iklan layanan masyarakat untuk mengajak masyarakatnya mengakses layanan kesehatan alternatif ? saya sendiri belum pernah menyaksikannya. Dan secara implisit, pemerintah hendak menggiring masyarakatnya untuk hanya mengakses layanan kesehatan yang modern, ilmiah dan di dukung dengan peralatan canggih, tentu dengan biaya yang tidak murah. Demikianlah edukasi pemerintah terhadap masyarakatnya.
Kedua, akupunktur masih menjadi solusi kesehatan alternatif, sudah jelas ia kalah kelas. Namanya saja alternatif, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata "alternatif"? mistis, kuno, tahayul, tidak ilmiah ? ada yang lain ?. Ini semakin diperparah dengan para penyembuh yang tidak tahu malu dan hanya memiliki motif memperkaya dirinya sendiri tanpa bertanggungjawab terhadap layanan terapi yang dilakukannya, membodohi masyarakat dengan biaya selangit dan merusak makna alternatif itu sendiri. Ketiga, meski secara perundangan praktek akupunktur diakui dan diatur oleh pemerintah ( dengan di terbitkannya Surat Ijin Pengobat Tradisional /SIPT, bagi praktisi akupuntur ), namun, pernahkah sidang pembaca menyaksikan iklan layanan masyarakat untuk mengajak masyarakatnya mengakses layanan kesehatan alternatif ? saya sendiri belum pernah menyaksikannya. Dan secara implisit, pemerintah hendak menggiring masyarakatnya untuk hanya mengakses layanan kesehatan yang modern, ilmiah dan di dukung dengan peralatan canggih, tentu dengan biaya yang tidak murah. Demikianlah edukasi pemerintah terhadap masyarakatnya.
Ini
memang kenyataan yang harus diterima para praktisi akupunktur ( dan praktisi
kesehatan alternatif lainnya ) sekaligus harus diterima juga oleh masyarakat.
Bagi para praktisi kesehatan alternatif, mereka harus menerima dengan lapang
dada menjadi warga kelas dua dalam bidang kesehatan meski memiliki ilmu
selangit, reputasi mengkilap dan pendidikan setinggi apapun ( beneran lho, guru
saya itu S 2 akupunktur, dari Beijing University, tapi ketika praktek di
Indonesia, beliau harus legowo hanya bisa mengantongi predikat BATRA,
pengobat tradisional ). Sementara bagi masyarakat, mereka hampir-hampir
dihadapkan pada satu-satunya pilihan ketika membutuhkan solusi terhadap masalah
kesehatannya. Tak peduli daya beli sebagian besar masyarakat lebih rendah dari
nilai jual layanan kesehatan yang ada. Tak bisa di pungkiri, edukasi pemerintah
memang masih menjadi acuan utama masyarakat. Tak heran, pola pikir masyarakat
pun, sebagaian besar cenderung memandang bahwa pengobatan hanya menjadi wilayah
kerja dokter, rumah sakit dan sentra layanan sejenis itu. Pun tata cara
penyembuhan menggunakan sarana obat dan operasi menjadi standar utama.
Maka pengobatan
alternatif, akupunktur misalnya, tak pelak menjadi suatu metode aneh dalam
dunia pengobatan. Itu karena Akupunktur, bisa jadi, dinilai keluar dari koridor
standar pengobatan seperti apa yang dipahami masyarakat. Berobat kok dengan
jarum, pakai obat dong ! mungkin demikian yang ada dalam benak ( sebagian besar
) masyarakat. Saya sendiri punya pengalaman beberapa kali menghadapi pasien
seperti itu. “ ini ( pengobatannya ) sudah selesai Pak ? tidak ada obat yang
bisa saya bawa pulang ya ? “ adalah bentuk pernyataan ketidaktahuan, namun bisa
juga bentuk keheranan yang bisa jadi bukti atas tema artikel yang saya tulis
kali ini.
Menutup artikel
saya kali ini, menyeru kepada para praktisi alternatif dimanapun, tidak usah
berkecil hati terhadap semua kenyataan minor yang ada. Teruslah mengasah
kemampuan, menambah keilmuan dan meluruskan moral. Masyarakat semakin cerdas,
kelak mereka akan menjadikan praktisi kesehatan yang kompeten dan bermoral untuk
menjadi rujukan utama atas keluhan kesehatan yang mereka alami. Salam sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar